BREAKING NEWS

Sabtu, Oktober 11, 2014

UU Pilkada, Demokrasi, dan Problem Pokok Rakyat

Oleh :
Adhi Bangkit Saputra*

Polemik UU Pilkada
Setelah pemilihan presiden 2014 berlangsung, bahkan belum dilantiknya presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-Jusuf Kalla, kita sudah dihadapkan oleh polemik lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.  Perdebatan seputar pemilihan kepala daerah (gubernur) secara langsung oleh rakyat, ataukah pemilihan kepala daerah (gubernur) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).  Dalam rapat paripurna DPR RI, pengesahan  RUU Pilkada menjadi UU berlangsung secara dramatik, mulai dari aksi walk-out partai rezim penguasa yakni demokrat, serta Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersikap sok heroik, dan sok pro-rakyat, dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perppuu Pilkada), Serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Perppu Pemda), yang pada intinya mengembalikan pemilihan langsung kepala daerah oleh rakyat dengan beberapa perbaikan.

Keculasan SBY-Boediono, Rezim Boneka Amerika Serikat (AS)

Awalnya, ide untuk pilkada oleh DPRD diajukan oleh koalisi merah putih (KMP) pendukung capres dan cawapres prabowo-hatta yang kalah dalam pemilu kemarin.  Hal itu pun menuai banyak penolakan dari massa rakyat.  Namun permasalahan  yang muncul seputar pemilihan langsung dan tidak langsung tersebut seolah-olah adalah problem pokok rakyat hari ini, dengan mengesampingkan banyak kebijakan-kebijakan rezim SBY-Boediono selama 10 tahun yang anti-demokrasi, seperti munculnya UU Pilkada kali ini.  Ambil contoh saja keluarnya UU Ormas yang secara nyata membatasi ruang-ruang terhadap gerakan rakyat, UU Keamanan Nasional (Kamnas) yang bertujuan menyumbat perjuangan rakyat dengan gaya militeristik-nya, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal  merupakan bukti riil lagi ‘penghambaan rezim boneka’ SBY-Boediono kepada tuannya Imperialisme pimpinan Amerika Serikat (AS), dengan dibuka selebar-lebarnya korporasi bertahan hingga 95 tahun menguasai Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah (Pasal 22 ayat 1 huruf a), dan termasuk juga MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) lewat Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011, sebagai kebijakan untuk melanggengkan sistem setengah jajahan dan setengah feodal, dimana dominasi imperialis terus bercokol di Indonesia karena dibukanya ‘keran’ investasi bagi perusahan-perusahaan besar serta Negara Imperialis macam Amerika Serikat (AS).   Dan untuk memenuhi kebutuhan tanah bagi berputarnya akumulasi modal mereka, maka perampasan serta monopoli atas tanah-pun niscaya makin merajalela karena seiring dengan kebutuhan perusahaan-perusahaan besar akan tanah beserta sumber-sumber daya agraria di dalamnya, dan inilah salah satu yang melanggengkan sistem feodal di Indonesia, bahkan politik buruh murah sekaligus mengikutinya, kerja kontrak, dan outsourching-pun dijalankan demi menekan sekecil-kecilnya ongkos produksi, dan merauk keuntungan sebesar-besarnya.  Dan kita melihat bahwa praktek penindasan dan penghisapan tersebut di legitimasi oleh rezim boneka SBY lewat kebijakan dan produk-produk hukum-nya, inilah yang di sebut dengan Kapitalisme Birokrat, birokrat-birokrat yang ‘menghamba’ pada kepentingan imperialisme AS.
 

Semakin terlihat jelas, rezim SBY-Boediono di akhir-akhir kekuasaannya memperlihatkan watak fasis dan culas-nya, disatu sisi dia berteriak ‘pemilihan langsung’ oleh rakyat secara demokratis,  di sisi lain dia mencederai bahkan memperkosa hak-hak demokratik rakyat. maka kita tidak boleh dikaburkan dengan pilihan sempit ‘pilkada langsung’ atau ‘tidak langsung’ dan hanya terfokus pada perdebatan itu.  Bukan tidak mungkin, rezim Jokowi-JK kedepannya akan meneruskan program yang dimotori oleh Imperialisme, bukti riil-nya adalah, Visi misi Jokowi untuk melanjutkan Mega Proyek MP3EI dan di awal masa kepemimpinannya nanti, Jokowi akan langsung mencerabut subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) yang pastinya akan menyengsarakan rakyat, karena sejatinya Jokowi-JK tak ubahnya dengan SBY-Boediono yang membangun kediktatoran bersama Borjuasi Komparador, Tuan Tanah Besar, dan Kapitalisme Birokrat (termasuk juga kepala daerah, baik dipilih langsung atau dipilih oleh DPRD nantinya) yang siap mengabdi pada tuannya Imperialisme AS.

Ke-percuma-an Menolak Pilkada oleh DPRD tanpa menyentuh Problem pokok Rakyat
 

Dalam menghadapi hal ini, kita harus berhati-hati, jika kita terima begitu saja pilkada dilakukan oleh DPRD, maka konsekuensinya adalah hak demokratik rakyat dalam hal partisipasi pemilihan kepala daerah pun akan di-kebiri dan akses penyampaian aspirasi akan dipersempit, karena secara kesejarahan hal seperti ini pernah terjadi, pilkada (gubernur) oleh DPRD pernah dipraktekkan pada rezim orde baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, mengatur bahwa Kepala daerah baik tingkat I (Gubernur) dan tingkat II (Walikota/Bupati) dipilih oleh DPRD, terlebih khusus untuk Pemilihan kepala daerah tingkat I (gubernur) mekanismenya sangat tertutup, bahwa kepala daerah dicalonkan dan dipilih oleh DPRD yang sebelumnya telah dimusyawarahkan oleh pimpinan DPRD dengan Menteri Dalam Negeri.  Kemudian calon (2 orang) yang terpilih ini akan diajukan kepada presiden untuk diangkat salah seorang diantaranya sebagai kepala daerah tingkat I, dan pertanggung jawaban kepala daerah pun kepada presiden dan bukan kepada DPRD (pasal 14,15, dan 16), itulah ‘salah satu’ resep langgengnya rezim otoriter Soeharto serta sistem Setengah Jajahan dan Setengah Feodal di Indonesia.  Walaupun selanjutnya pada tahun 1999 pasca jatuhnya rezim otoriter Soeharto, sistem pemilihan kepala daerah tingkat I (Gubernur) seperti sebelumnya masih dipertahankan di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, hanya perbedaannya terletak pada, mekanisme musyawarah dengan Menteri Dalam Negeri dihapuskan dan pengangkatan oleh presiden-pun dihapus karena terlalu sentralistik.

Melihat bergulirnya masa reformasi, dibutuhkannya partisipasi rakyat secara maksimal dalam segala aspek termasuk pemilihan umum dari tingkat yang paling tinggi hingga terendah, termasuk kepala daerah, lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan (Pasal 24 ayat 5 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah).


Jika pemilihan kepala daerah ingin dikembalikan seperti masa yang lalu, dipilih oleh DPRD, maka pemuda mahasiswa pun harus turut serta menolak mekanisme pilkada oleh DPRD dalam rangka memblejeti segala kebijakan rezim yang akan melanggengkan sistem Setengah Jajahan dan Setengah Feodal di Indonesia.  Kita harus menghabisi segala kebijakan yang anti-demokrasi, bahkan membuatnya layu sebelum berkembang.  Oleh karenanya, secara sekaligus juga harus menolak segala kebijakan yang mengekang hak-hak demokratik pemuda mahasiswa, seperti kenaikan biaya kuliah (UKT) yang lahir akibat cengkeraman perjanjian WTO (World Trade Organization) untuk melanggengkan Komersialisasi Pendidikan di Indonesia dengan memasukan pendidikan sebagai salah satu sektor jasa yang diperjual-belikan didalam GATS (General Aggrement Trade of Service) lalu disempurnakan dengan Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pada pasal 64 dan 65, memisahkan antara otonomi akademik dan non-akademik sehingga Institusi Pendidikan Tinggi bisa mengelola otonomi non-akademiknya secara mandiri (dalam hal ini menyangkut juga biaya pendidikan) dan problem pokok mahasiswa lainnya semisal, ‘jam malam’ kampus yang lahir dari kebijakan NKK/BKK, serta penyempitan ruang gerak organisasi mahasiswa dikampus.  Karena akan menjadi sebuah ke-percuma-an bila kita menolak pilkada dilaksanakan tidak secara langsung (dalam arti tidak demokratis oleh DPRD) tetapi kita tidak menolak pengekangan atas hak-hak demokratik massa rakyat, maka kita akan terjebak kepada perdebatan elite-elite politik dipusat dan istana saja, yang sangat tidak menguntungkan buat kita, karena hanya akan mengkaburkan makna demokrasi dan problem pokok rakyat, seperti hak atas tanah bagi petani, hak atas upah yang layak serta kesejahteraan bagi kaum buruh, dan hak atas pendidikan bagi rakyat Indonesia, serta hak-hak demokratik kaum perempuan, masyarakat adat, pemuda mahasiswa dan rakyat tertindas lainnya.  Untuk itu, rakyat tidak bisa menggantungkan nasibnya kepada kapitalisme birokrat yang menghamba kepada tuannya Imperialisme AS, dan rakyat harus terus memblejeti setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kapitalis birokrat tadi, menyelesaikan permasalahan dari manapun munculnya, termasuk polemik UU pilkada ini, karena setiap perubahan adalah karya massa rakyat.

Jayalah Perjuangan Massa !

Jayalah Rakyat Indonesia!



*Anggota Komite Fakultas Hukum FMN Ranting Unsoed, dia juga sekarang aktif sebagai aktivis Teater Timbang di Fakultas Hukum. Untuk mengikuti kicauan dia nih twitter-nya @Bangkit_kentir

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates