BREAKING NEWS

Kamis, Juli 18, 2013

Serenade Tri

ilustasi : regional.kompas.com

Oleh : Rosawati
(Administrasi Negara 2010)

Sejak malam itu sosok pria tangguh itu mulai merucut hatinya:
Inilah keletihan bulan
menyiur bersama dingin
menyusut di semak bambu
Mengelana di dalam maya

Duka siapa berkelana di antara gemintang
Doa siapa yang gemerisik mentari?

Langit bagai terpejam
menggumamkan sepi
Lalu
Keheningan jatuh
menetesi kabut di Tanah Purbalingga.


Kabut turun dari lembah Slamet, kakiku berkeringat dan bersandal busuk. Kali ini seperti biasa, aku pergi sendiri ke pasar. Dan, memang tiap kali berbelanja selalu sendiri. Aku kayuh sepeda buatan Tegal ini dengan hati-hati, pasalnya sepeda ini sudah memasuki usia senja. Kata bapak, sepeda ini masih cukup aman, tapi aku cukup ragu karena ban sepedanya sudah mulai menipis.

Jalanan mulai ramai, orang-orang berangkat ke pabrik, dan beberapa supir angkot ngetem di pinggiran pasar Mandiri-Purbalingga. Pasar yang menjadi saksi bisu ‘pertemuan’ bapak dan ibuku. Ibu pernah bilang, dulu bapak sering menungguinya di perempatan. Ia mengantarkan ibu pulang dan berangkat kerja dengan angkotnya.

Ibuku memang miskin. Semenjak lulus SMA, ibu telah diberi tanggungjawab menghidupi keenam adiknya. Sedangkan, kakek dan nenek hanya seorang petani. “Dahulu jaman tak serumit ini, jaman sekarang apa-apa serba susah dan banyak proyek pembebasan lahan. Sehingga mau tak mau kakek menjual tanahnya untuk pembangunan perumahan. Sejak saat itu ibu mulai bekerja mulai dari tukang cuci hingga kerja pabrik hingga sekarang,” kisahnya kepadaku.

Agaknya hari ini akan turun hujan besar. Ketika pulang, selalu, ibu mengomel. Karena lagi-lagi bajunya basah, bau amis dan besok pagi harus dipakai kerja lagi. Coba saja kalau ibu punya mesin cuci, pikirku.

Kring kring!!! Sepertinya suara sepeda ibu sudah semakin dekat. Siang menjelang sore ini memang jatah ibu pulang agak awal. “Sudah masak kamu?” aku mengangguk. Sepertinya ibu tidak mau diganggu. Kalau saja ibu punya waktu banyak untuk hari minggu ini?

Aku membandingkan, tetangga sebelah setiap akhir pekannya pasti bertamasya. Keluargaku? Agaknya keluargaku kurang beruntung untuk ini. Bapak tetap narik angkot, ibu tetap ke pabrik, dan aku tetap menjadi penghuni rumah kecil yang hanya memiliki satu penerang lampu utama. Aku harus rela bergelap-gelapan setiap malam hanya dengan satu lampu. Sebenarnya ada 2 lampu, tapi jika lampu ruang utama dinyalakan, lampu yang lain harus mati.
Lagi di sekolah, jika yang lain mengambil rapot bersama ibu atau bapaknya, aku harus rela mengambil rapot sendiri. Belum, aku menyaksikan pertengkaran bapak dan ibu masalah penghasilan. Bapak yang hanya bisa menghasilkan 25 ribu sehari dan ibu bisa 50 ribu sehari. Begitu banyak carut-marut yang terjadi dalam keluargaku hingga acapkali aku pergi keluar rumah dan lebih memilih tinggal bersama bibi.

            “Lha, kalo emang kamu sendirian ya ke sini aja, sekalian bantu-bantu bibi,” sambil menyerahkan sepiring nasi.
            “Ibumu masih suka marah-marah?” aku hanya menggeleng dan menyuapi nasi ke mulutku yang masih ada sisa-sisa tamparan ibu.
            “Bi, aku udah jemur kerupuknya di atas kandang ayam.”
            Jangan lupa diambil ya, Bibi mau ke depan dulu.”

Kawan, ibuku pekerja keras yang tahan banting. Bapak pun kalah olehnya. Tanggannya yang kasar, lebar dan jarinya yang tak lentik mungkin menjadi faktor utama bila dilihat dari segi fisik. Namun pengalaman ibu di masa lalu membuatnya kuat dan menjadi pekerja keras. Kalau matahari berada di garis tegak lurus dengan bumi Purbalingga, pasti ibu sedang tak berkedip di hadapan pekerjaannya. Sembari menyeka keringat dan mengucek-ngucek mata yang pegal karena semalam habis sudah mata ibu tanpa tidur.

Sedang bapakku pulang lebih dulu dari ibu, ia selalu mencuci mobil angkot milik Pak Dulah setiap pulang dari kerjanya. Angkot hijau keluaran tahun 89 yang seharusnya menikmati masa pensiunnya malah masih kuat beroprasi. Aku kadang buatkan teh tubruk dengan mendoan hangat. Bagi kami, ini termasuk cemilan mewah. Lalu, aku duduk di pinggir teras sambil memandangi bapak. Bila teringat ibu menampar wajah bapak, timbul ibaku melihat bapak hanya memegangi pipinya dan memelas seperti kucing yang meminta kepala ikan.

Biarkan angin memaafkan debu yang berserakan di hati ibu, karena aku tahu bapak tak sekejam melukai wanita yang ia cintai. Bapak paham betapa lelahnya ibu bekerja untuk menghidupi keluarga yang dikatakannya miskin ini. Ditambah paru-paruku yang sesekali batuk ketika udara dingin.

Semoga Tuhan menjaga ibuku dari segala keserakahan manusia-manusia ulung. “Ibumu cuma lelah, Tri, tidak perlu berburuk sangka,” ujar bapak sambil menyeruput teh tubruk, kumisnya yang tebal membantu menyaring ampas teh yang mengambang.

Bapak beranjak dari teras dan mengacak-acak rambutku dengan “kelembutan” tangannya yang tebal. Tak seperti tangan ibu yang lembut, halusnya sutra dan kenyalnya badan cumi-cumi yang sedang menggeliat. Tangan lembut itu tak pernah membelaiku seperti tangan kasar dan tebal milik bapak, tangan ibu kerap kali mendarat di pipi ini dan kadang membuatnya mengeluarkan cairan yang segar berani. Setelah menemui puncak kemarahannya ibu pergi mandi kemudian makan seadanya kemudian melanjutkan lemburan yang dijatahkan dari pabrik. Dia tak banyak bicara.

Ibu seperti orang eksekutif dikeluargaku karena dia bekerja di salah satu pabrik ternama di kota industri wig dan bulu mata ini, pun dengan pandangan orang se-desa demikian. Status sosial yang disandang ibu kini membuatnya sedikit besar kepala, polesan tata rias di wajahnya yang selalu menawan dan penampilan ibu yang cukup ‘wah’ membuat orang tua murid di sekolah mengira ibu adalah kakakku. Namun ia tetap ibuku dan aku anaknya!
            “Tri, kowe aja klalen engko tuku sapu karo lap pel,” ujarnya dengan logat Cirebonnya.
            “Duite endi bu?” ibu menunjuk uang yang berada di sebelah radio dengan bibirnya yang tak kalah dengan Angelina Jolie. “Wes yo, Ibu brangkat dulu!” aku mengangguk sambil menatap punggung ibu yang kian menghilang dipenghujung jalan.

Ijinkan aku menggantikan posisimu sejenak, Bu. Tidurlah, aku akan menggantikanmu. Terlelaplah di pundak bapak, tersenyumlah lagi sebelum senja itu menghancurkanmu, sebelum asap dan bus-bus mengerudungi jalanan Purbalingga ini, ibu. Biarkan aku menebus lelahmu. Harapanku.

Tadi pagi, setelah aku membersihkan bekas makan bapak dan ibu, Bu Jarwo mengantarkan undangan rapat di rumahnya dengan agenda musyawarah mengenai pembetulan jalan Desa. Aku taruh di atas radio dan ku tindih dengan asbak rokok bapak. Aku simpan saja walau aku tak yakin bapak dan ibu menghadirinya, alasannya capek kerja seharian.

Aku tak merasa bernasib sendiri karena ada Firda yang mengalami hal yang sama. Hanya saja bapaknya sebagai tukang parkir di salah satu tempat wisata di daerah Bojong sana. Firda tak pernah mengeluh walau setiap hari ia harus ikut membantu cari uang dengan berjualan gorengan di tempat wisata pula bersama bapaknya. Aku pernah diajak olehnya lumayan untuk menambah uang jajan, tapi bapak melarangku, katanya biar aku fokus sekolah dan jadi juara kelas.

Semua murid masuk kelas dan seperti biasa, bersundulan. Ibu Hani berjalan diiringi di belakangnya perempuan dengan rambut rapih di cepol dan wajah yang bersih seperti orang di kota. Tubuhnya langsing putih dan mengenakan kemeja berkerah renda membawa map plastik dan lengannya menenteng tas warna hitam dengan sedikit payet. Manis sekali. Ibu Hani memasuki kelas dengan perempuan manis itu.
            “Assalamualaikum warahmatullahiwabarokatuh!” seru murid-murid.

“Walaikummussalam warohmatullah, anak-anak kenalkan ini ada Guru PKL dari Univ Muhammadiyah Purwokerto yang akan membantu ibu menyampaikan pelajaran bahasa Indonesia. Silahkan Mba, langsung perkenalan saja. Saya tinggal dulu,” Ibu Hani langsung pergi dari ruangan. Ibu Hani, orang yang selalu ribet sendiri dan teledor meskipun begitu beliau guru yang baik dan selalu simpati kepada muridnya termasuk aku.

“Ya perkenalkan nama saya Reni, panggil saja Bu Reni. Selama 6 bulan ke depan saya mengajar di sini.” Tak banyak ekspresi yang terlihat di antara wajah teman-teman. Rahmat sang ketua kelas dan diboncer jalu itu hanya sedikit meledek guru PKL itu.

Langit mendung menghitam, ibu-ibu di sekitar rumah langsung menarik jemurannya yang hampir kering. Aku langsung meminggirkan sendal dan kesed hadiah 17 agustusan. Padahal hari ini aku dan Firda berniat untuk belajar bersama, biasanya Firda datang dengan sepeda mini phoenix milik adiknya yang sudah reot sana sini.

Hujan turun deras, biasanya di daerah tempat ibu bekerja banjir dan ibu harus pulang agak malam untuk menunggu air sedikit surut. Padahal aku sudah memasak makanan kesukaan ibu sedang bapak tak ingin dimasakkan apapun, baginya apapun masakanku itulah yang paling enak. Bapak selalu menceritakan betapa enaknya makananku pada temannya di terminal, mereka bingung aku belajar dari mana padahal ibu tak pandai memasak.

Cuaca makin buruk, aku masuk ke dalam mempersiapkan lilin barangkali mati listrik. Kawan, tahukah kalian? Saat-saat seperti inilah aku sangat merindukan kedua orang tuaku. Meski setiap harinya aku bertemu di larut malam dan pagi buta. Ibu semakin temperamen ketika banyak sekali pesanan bulu mata. Ia tak mau di ganggu tidurnya dan tidak mau tahu mengenai masalah keluarga ini. Pernah suatu hari menjelang magrib aku berkata pada ibu.
            “Ibu nggak usah kerja dong, Tri kesepian,” ujarku sambil mengelap sepeda ibu.
            “Kau bilang apa, Tri? Emang kamu makan, sekolah, main, dan sebagainya nggak pake duit?! Ngomong seenaknya saja!”
            “Nggak gitu maksud Tri, tapi Tri cuma pengen ibu lebih punya banyak waktu sama Tri,” ibu menatapku sengit. Aku tahu itu salah, aku tahu ibu masih harus menghidupi Nenek yang sudah sangat tua. Keenam adik ibu tak ada yang memiliki pekerjaan tetap, yang bisa diandalkan ya hanya ibu. Ibuku.

Bapak pulang agak malam dan langsung mandi, kulihat lingkar matanya yang menghitam dan kumisnya yang tak lagi segar, sungguh beratnya hidup ini bagimu. Bersandarlah pada anakmu yang masih belum bisa memberikan apa-apa. “Jalanan dan langit masih belum bersahabat untukmu, Nak.” Aku mengernyitkan dahi, bapak adalah pujangga terhebat dan bapakku yang paling nomor satu. Aku bangga menjadi anakmu! Aku buatkan teh tubruk spesial dan pastinya mendoan tak lupa. Seperti biasa kulihat kumis bapak membantu menyaring ampas teh yang mengambang. Terdengar pintu digedor dengan keras. Aku membukakannya. Ibu.

            “Heh Pak! Udah tahu hujan gede, kenapa tidak menjemput saya!!!” sentak ibu sambil membanting tas.
            “Biasanya ibu tidak mau bapak jemput, bilangnya bisa pulang sendiri, ya sudah jadi bapak gak jemput,sambil menyeruput lagi teh hangatnya.
            “Ya udah, mendingan Ibu mandi dulu.”
Berusaha mengalihkan perhatian. Tapi sepertinya itu keputusan salah.
            “Kamu lagi!! Ibu sudah bilang kalau ada pak RW ga usah ditanggepin.” Mata ibu semakin membulat ingin keluar.
            “Tri nggak nanggepin kok bu, Tri Cuma taruh di atas radio.”
            “Ah apapun itu !! Jangan diterima!!”
            “Kan itu cuma sekadar undangan thok, Bu. Ibu atau bapak gak dateng juga nggak apa-apa.”

            “Bengal kowe kalo dikasih tahu orang tua!!” ibu berlenggang masuk kamar dan mengambil handuk. Seperti biasa ibu langsung tidur tanpa sedikit duduk bersama dengan kami. Padahal hari ini aku ingin sekadar bercerita dengannya mengenai sekolahku. Jika teman-teman yang lain duduk bersama di meja makan bersama mama dan papa-nya. Sedang aku, lagi lagi harus mendekur di bawah lampu yang redup. Kau tahu kawan, betapa aku sungguh merindukan tangan ibu yang membelai, merawatku dengan kasih sayang, bersedia memberikan telinganya padaku, kau tahu kawan?

Aku iri pada kalian. Disaat kalian dengan mudah dihujani berjuta kata sayang dan perhatian ibumu. Kalaulah aku bisa mengetuk hati ibu, kalaulah aku bisa membuatnya nyaman berada di rumah, kalaulah aku bisa menjadi kebanggaan ibu. Aku hanya ingin menginginkan 2 jam dari 10 jam ibu di pabrik. Malam ini aku ingin menemani ibu lembur memotongi 100 helai bulu mata, biasanya ibu bangun bangun jam 11 malam. Kalau ibu tak bisa menyediakan waktunya, biar aku yang menyediakan waktu untukku menikmati wajah ibu, sekadar membuat ibu tak sendirian kala malam mengguntingi sumber kehidupan kami.

Aku mendengar suara pekikkan ranjang besi. Pasti ibu sudah bangun, aku selipkan pembatas buku pada halaman 89 novel Segiang terakhir karya Gracia Asri dan bergegas turun mengambil air untuk menyegarkan mata ini. Aku sibak gorden pembatas dapur dengan ruang utama, ku temukan ibu telah duduk sila di bawah lampu belajar 16 watt. Ibu menoleh tanpa kata-kata lalu melanjutkan kerjanya. Duduk bersebelahan dan aku taruh pandanganku pada helaian-helaian bulu mata yang perlahan cekatan ibu guntingi polanya. Ibu pernah bilang, satu helai bulu mata dihargai 100 rupiah, jika ada yang cacat maka akan harus ada pengganti, begitu ibu menceritakan itu. 10 jam ibu dihargai Rp 860.000, itupun sudah termasuk uang makan yang hanya Rp 25.000,-. Ibu mencuri pandangan padaku lewat ekor matanya.
            Ngapain kowe di sini?! Nganah turu!” matanya tetap fokus pada helaian bulu mata.
            Tri mau nemenin ibu.”
Semoga ibu tak mengusirku.
            Wes nganah!! Ibu lagi nggak mau diganggu! Banyak pesanan di pabrik!!”
            “Aku nggak...”
            WES NGANAH!!!” aku ciut dan dengan rapuhnya kembali ke kamar. Aku memutuskan untuk mengintip ibu, aku juga ingin terjaga bersama ibu. Tapi sepertinya mata ini tak sekuat ibu. Ibu, maafkan aku.

Fajar itu telat membangunkan matahari, gemericik air dari belakang. Aku tak mau kalah oleh ibu, satu jam sebelum ibu bangun aku sudah memasakkan untuk ibu. “Pake jemputan, Bu?” ibu tak mengacuhkan pertanyaanku. Ibu memang seperti itu, mungkin ia puasa untuk bicara. Dengan cepat ibu berpakaian, memoleskan bedak tipis dan sedikit lipstik. Ibuku yang manis. Tangannya dengan cepat menciduk nasi, mendoan dan menaburkan bawang goreng.

            “Ibu mau teh tubruk?” hanya gelengan yang ku dapat darinya sambil menyuapkan sesondok nasi dangan cepat. Tak hanya dalam bekerja ibu sigap dan cekatan, tapi seluruh aktivitasnya mungkin tidur pun beliau yang manis ini sigap. Bapak memandangiku sejak tadi dari kursi tamu yang sudah bolong sana-sini dan bergantian menatap ibu.
            “Mau diantar?” tanya bapak.
            “Nggak usah!” ketus ibu. “Mau naik sepeda?” bapak tak habis pertanyaan.
            “Nggak.”
Bapak menggaruk-garuk kepala. Aku masuk ke kamar berharap mereka bisa bicara agak terbuka. Ibu, aku mohon lunakkan hatimu sedikit saja. 
            “Jemputan Bus pabrik?” bapak bertanya perlahan.
            “Dijemput Joko,senyum tipis bapak senyap, fajar tak lagi bersambut di raut wajah bapak. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Siapa joko? Ada apa dengan bapak dan ibu?
            “Kamu masih sama dia?”  ibu tak menjawab. Ia mengambil tas dan memasukkan kotak bulu mata, menyisir sedikit rambutnya membuka pintu dengan kasar tanpa menutupnya kembali. Aku menghampiri bapak dan menadahkan kepala pada bantalan dadanya. Ia membelai kepalaku dengan mesra seperti membelai ibu. Kumisnya yang dulu tegap menantang kini entah kemana perginya.



            Aku kacau meracau. Mencakar ke udara. Mendengarkan tembang macopat dengan gaya seorang pemabuk cinta, bapak. Menanti sang dewinya pulang tanpa seragam dan berlari memeluk bapak. Hingga lamunannya berpuisi jingga, dan ketika membuka pintu lamunannya dia telah jauh meninggalkan kenyataan. Kau bapakku, engkau ibuku! Dan aku anakmu. Akankah kita menciptakan sebuah silsilah yang indah dalam kesialan jaman ini? Entahlah, kau hanya memotong setiap pola Tuhan yang tak mereka ajarkan!***

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates