| ilustasi : regional.kompas.com |
Oleh : Rosawati
(Administrasi Negara 2010)
Sejak malam itu sosok pria tangguh itu mulai merucut hatinya:
Inilah keletihan bulan
menyiur bersama dingin
menyusut di semak bambu
Mengelana di dalam maya
Duka siapa berkelana di antara gemintang
Doa siapa yang gemerisik mentari?
Langit bagai terpejam
menggumamkan sepi
Lalu
Keheningan jatuh
menetesi kabut di Tanah Purbalingga.
menyiur bersama dingin
menyusut di semak bambu
Mengelana di dalam maya
Duka siapa berkelana di antara gemintang
Doa siapa yang gemerisik mentari?
Langit bagai terpejam
menggumamkan sepi
Lalu
Keheningan jatuh
menetesi kabut di Tanah Purbalingga.
Kabut turun dari lembah Slamet, kakiku berkeringat dan bersandal busuk. Kali ini seperti biasa, aku pergi sendiri ke pasar. Dan, memang tiap kali berbelanja
selalu sendiri. Aku kayuh sepeda buatan Tegal ini dengan hati-hati, pasalnya sepeda ini sudah memasuki usia senja. Kata bapak, sepeda ini masih cukup aman, tapi aku cukup ragu
karena ban sepedanya sudah mulai menipis.
Jalanan mulai
ramai, orang-orang berangkat ke pabrik, dan beberapa supir angkot ngetem di pinggiran pasar
Mandiri-Purbalingga. Pasar yang menjadi saksi bisu ‘pertemuan’ bapak dan ibuku.
Ibu pernah bilang, dulu bapak sering menungguinya di
perempatan. Ia mengantarkan ibu pulang dan berangkat kerja dengan angkotnya.
Ibuku memang
miskin. Semenjak lulus SMA, ibu telah diberi tanggungjawab menghidupi keenam
adiknya. Sedangkan, kakek dan nenek hanya seorang petani. “Dahulu jaman tak
serumit ini, jaman sekarang apa-apa serba susah
dan banyak proyek pembebasan lahan. Sehingga mau
tak mau kakek menjual tanahnya untuk pembangunan perumahan. Sejak saat itu ibu
mulai bekerja mulai dari tukang cuci hingga kerja pabrik hingga sekarang,”
kisahnya kepadaku.
Agaknya hari ini akan turun hujan besar. Ketika pulang, selalu, ibu mengomel. Karena lagi-lagi
bajunya basah, bau amis dan besok pagi
harus dipakai kerja lagi. Coba saja kalau ibu punya mesin
cuci, pikirku.
Kring kring!!! Sepertinya suara sepeda ibu sudah semakin dekat. Siang
menjelang sore ini memang jatah ibu pulang agak awal. “Sudah masak kamu?” aku
mengangguk. Sepertinya ibu tidak mau diganggu. Kalau
saja ibu punya waktu banyak untuk hari minggu ini?
Aku
membandingkan, tetangga sebelah setiap akhir
pekannya pasti bertamasya. Keluargaku? Agaknya keluargaku
kurang beruntung untuk ini. Bapak tetap narik angkot, ibu tetap ke pabrik, dan
aku tetap menjadi penghuni rumah kecil yang hanya memiliki satu penerang lampu
utama. Aku harus rela bergelap-gelapan setiap malam
hanya dengan satu lampu. Sebenarnya ada 2 lampu, tapi jika lampu ruang utama dinyalakan, lampu yang lain harus mati.
Lagi di sekolah,
jika yang lain mengambil rapot bersama ibu atau
bapaknya, aku harus rela mengambil rapot sendiri. Belum, aku menyaksikan
pertengkaran bapak dan ibu masalah penghasilan. Bapak yang hanya bisa
menghasilkan 25 ribu sehari dan ibu bisa 50 ribu sehari. Begitu banyak carut-marut
yang terjadi dalam keluargaku hingga acapkali aku pergi keluar rumah dan lebih
memilih tinggal bersama bibi.
“Lha, kalo emang kamu sendirian ya ke
sini aja, sekalian bantu-bantu bibi,” sambil menyerahkan sepiring nasi.
“Ibumu masih suka marah-marah?” aku hanya menggeleng dan menyuapi nasi ke
mulutku yang masih ada sisa-sisa tamparan ibu.
“Bi, aku udah jemur kerupuknya di atas kandang ayam.”
“Jangan lupa diambil ya, Bibi mau ke depan dulu.”
Kawan, ibuku pekerja keras yang tahan banting. Bapak pun kalah olehnya.
Tanggannya yang kasar, lebar dan jarinya yang tak lentik mungkin menjadi faktor
utama bila dilihat dari segi fisik. Namun pengalaman ibu di masa lalu membuatnya kuat dan menjadi pekerja keras. Kalau
matahari berada di garis tegak lurus dengan bumi Purbalingga, pasti ibu sedang
tak berkedip di hadapan pekerjaannya. Sembari menyeka keringat dan
mengucek-ngucek mata yang pegal karena semalam habis sudah mata ibu tanpa
tidur.
Sedang bapakku pulang lebih dulu dari ibu, ia selalu mencuci mobil angkot
milik Pak Dulah setiap pulang dari kerjanya. Angkot hijau keluaran tahun ‘89 yang seharusnya menikmati masa pensiunnya malah masih kuat beroprasi. Aku kadang buatkan teh tubruk dengan mendoan hangat. Bagi kami, ini termasuk
cemilan mewah. Lalu, aku duduk di pinggir teras sambil memandangi bapak. Bila
teringat ibu menampar wajah bapak, timbul ibaku melihat bapak hanya memegangi
pipinya dan memelas seperti kucing yang meminta kepala ikan.
Biarkan angin memaafkan debu yang berserakan di hati ibu, karena aku tahu
bapak tak sekejam melukai wanita yang ia cintai. Bapak paham betapa lelahnya
ibu bekerja untuk menghidupi keluarga yang dikatakannya miskin ini. Ditambah
paru-paruku yang sesekali batuk ketika udara dingin.
Semoga Tuhan menjaga ibuku dari segala keserakahan manusia-manusia ulung.
“Ibumu cuma lelah, Tri, tidak perlu berburuk sangka,” ujar bapak sambil
menyeruput teh tubruk, kumisnya yang
tebal membantu menyaring ampas teh yang mengambang.
Bapak beranjak dari teras dan mengacak-acak rambutku dengan “kelembutan”
tangannya yang tebal. Tak seperti tangan ibu yang lembut, halusnya
sutra dan kenyalnya badan cumi-cumi yang sedang menggeliat. Tangan lembut itu
tak pernah membelaiku seperti tangan kasar dan tebal milik bapak, tangan ibu
kerap kali mendarat di pipi ini dan kadang membuatnya mengeluarkan cairan yang
segar berani. Setelah menemui puncak kemarahannya ibu pergi mandi kemudian
makan seadanya kemudian melanjutkan lemburan yang dijatahkan dari pabrik. Dia tak banyak bicara.
Ibu seperti orang eksekutif dikeluargaku karena dia bekerja di salah satu
pabrik ternama di kota industri wig
dan bulu mata ini, pun dengan pandangan orang se-desa demikian. Status sosial
yang disandang ibu kini membuatnya sedikit besar kepala, polesan tata rias di
wajahnya yang selalu menawan dan penampilan ibu yang cukup ‘wah’ membuat orang tua murid di sekolah
mengira ibu adalah kakakku. Namun ia tetap ibuku dan aku anaknya!
“Tri, kowe aja klalen engko tuku sapu karo lap pel,” ujarnya dengan logat
Cirebonnya.
“Duite endi bu?” ibu menunjuk uang yang berada di sebelah radio
dengan bibirnya yang tak kalah dengan Angelina Jolie. “Wes yo, Ibu brangkat dulu!” aku mengangguk sambil menatap punggung
ibu yang kian menghilang dipenghujung jalan.
Ijinkan aku menggantikan posisimu sejenak, Bu. Tidurlah, aku akan
menggantikanmu. Terlelaplah di pundak bapak, tersenyumlah lagi sebelum senja
itu menghancurkanmu, sebelum asap dan bus-bus mengerudungi jalanan Purbalingga
ini, ibu. Biarkan aku menebus lelahmu. Harapanku.
Tadi pagi, setelah aku membersihkan bekas makan bapak dan ibu, Bu Jarwo
mengantarkan undangan rapat di rumahnya dengan agenda musyawarah mengenai
pembetulan jalan Desa. Aku taruh di atas radio dan ku
tindih dengan asbak rokok bapak. Aku simpan saja
walau aku tak yakin bapak dan ibu menghadirinya, alasannya capek kerja seharian.
Aku tak merasa bernasib sendiri karena ada Firda yang mengalami hal yang
sama. Hanya saja bapaknya sebagai tukang parkir di salah satu tempat wisata di daerah Bojong sana . Firda tak pernah mengeluh walau setiap hari ia harus ikut membantu cari
uang dengan berjualan gorengan di tempat wisata pula bersama bapaknya. Aku
pernah diajak olehnya lumayan untuk menambah uang jajan, tapi bapak melarangku,
katanya biar aku fokus sekolah dan jadi juara kelas.
Semua murid masuk kelas dan seperti biasa, bersundulan. Ibu Hani berjalan
diiringi di belakangnya perempuan dengan
rambut rapih di cepol dan wajah yang bersih seperti orang di kota. Tubuhnya
langsing putih dan mengenakan kemeja berkerah renda membawa map plastik dan
lengannya menenteng tas warna hitam dengan sedikit payet. Manis sekali. Ibu
Hani memasuki kelas dengan perempuan manis itu.
“Assalamualaikum warahmatullahiwabarokatuh!” seru murid-murid.
“Walaikummussalam warohmatullah, anak-anak kenalkan ini ada Guru PKL dari
Univ Muhammadiyah Purwokerto yang akan membantu ibu menyampaikan pelajaran bahasa Indonesia. Silahkan Mba, langsung perkenalan saja. Saya tinggal dulu,” Ibu Hani langsung pergi dari ruangan. Ibu Hani, orang
yang selalu ribet sendiri dan teledor meskipun begitu beliau guru yang baik dan
selalu simpati kepada muridnya termasuk aku.
“Ya perkenalkan nama saya Reni, panggil saja Bu Reni. Selama 6 bulan ke depan saya
mengajar di sini.” Tak banyak ekspresi yang terlihat
di antara wajah teman-teman. Rahmat sang ketua kelas dan diboncer jalu itu hanya sedikit meledek guru PKL itu.
Langit mendung menghitam, ibu-ibu di sekitar rumah langsung menarik
jemurannya yang hampir kering. Aku langsung meminggirkan sendal dan kesed hadiah
17 agustusan. Padahal hari ini aku dan Firda berniat untuk belajar bersama,
biasanya Firda datang dengan sepeda mini phoenix
milik adiknya yang sudah reot sana
sini.
Hujan turun deras, biasanya di daerah tempat ibu
bekerja banjir dan ibu harus pulang agak malam untuk menunggu air sedikit
surut. Padahal aku sudah memasak makanan kesukaan ibu sedang bapak tak ingin
dimasakkan apapun, baginya apapun masakanku itulah yang paling enak. Bapak
selalu menceritakan betapa enaknya makananku pada temannya di terminal, mereka
bingung aku belajar dari mana padahal ibu tak pandai memasak.
Cuaca makin buruk, aku masuk ke dalam mempersiapkan lilin barangkali mati
listrik. Kawan, tahukah kalian? Saat-saat seperti inilah aku sangat merindukan
kedua orang tuaku. Meski setiap harinya aku bertemu di larut malam dan pagi
buta. Ibu semakin temperamen ketika banyak sekali pesanan bulu mata. Ia tak mau
di ganggu tidurnya dan tidak mau tahu mengenai
masalah keluarga ini. Pernah suatu hari menjelang magrib aku berkata pada ibu.
“Ibu nggak usah kerja
dong, Tri kesepian,” ujarku sambil mengelap sepeda ibu.
“Kau bilang apa, Tri?
Emang kamu makan, sekolah, main, dan sebagainya nggak pake duit?! Ngomong
seenaknya saja!”
“Nggak gitu maksud Tri,
tapi Tri cuma pengen ibu lebih punya banyak waktu sama Tri,” ibu menatapku
sengit. Aku tahu itu salah, aku tahu ibu masih harus menghidupi Nenek yang
sudah sangat tua. Keenam adik ibu tak ada yang memiliki pekerjaan tetap, yang
bisa diandalkan ya hanya ibu. Ibuku.
Bapak pulang agak malam dan langsung mandi, kulihat lingkar matanya yang
menghitam dan kumisnya yang tak lagi segar, sungguh beratnya hidup ini bagimu. Bersandarlah
pada anakmu yang masih belum bisa memberikan apa-apa. “Jalanan dan langit masih
belum bersahabat untukmu, Nak.” Aku mengernyitkan dahi, bapak adalah pujangga
terhebat dan bapakku yang paling nomor satu. Aku bangga menjadi anakmu! Aku buatkan teh tubruk spesial dan pastinya mendoan tak
lupa. Seperti biasa kulihat kumis bapak membantu menyaring ampas teh yang
mengambang. Terdengar pintu digedor dengan keras. Aku membukakannya. Ibu.
“Heh Pak! Udah tahu hujan gede, kenapa
tidak menjemput saya!!!” sentak ibu sambil membanting tas.
“Biasanya ibu tidak mau bapak jemput, bilangnya bisa pulang sendiri, ya
sudah jadi bapak gak jemput,” sambil menyeruput lagi teh hangatnya.
“Ya udah, mendingan Ibu mandi dulu.”
Berusaha mengalihkan perhatian. Tapi sepertinya itu keputusan salah.
“Kamu lagi!! Ibu sudah bilang kalau ada pak RW ga usah ditanggepin.” Mata
ibu semakin membulat ingin keluar.
“Tri nggak nanggepin kok bu, Tri Cuma taruh di atas radio.”
“Ah apapun itu !! Jangan diterima!!”
“Kan itu cuma sekadar undangan
thok, Bu. Ibu atau bapak gak dateng juga nggak apa-apa.”
“Bengal kowe kalo dikasih tahu
orang tua!!” ibu berlenggang masuk kamar dan mengambil handuk. Seperti biasa
ibu langsung tidur tanpa sedikit duduk bersama dengan kami. Padahal hari ini
aku ingin sekadar bercerita dengannya mengenai sekolahku. Jika teman-teman yang
lain duduk bersama di meja makan bersama ‘mama’ dan ‘papa’-nya. Sedang aku, lagi lagi harus mendekur di bawah lampu
yang redup. Kau tahu kawan, betapa aku sungguh merindukan tangan ibu yang
membelai, merawatku dengan kasih sayang, bersedia memberikan telinganya padaku,
kau tahu kawan?
Aku iri pada kalian. Disaat kalian dengan mudah dihujani berjuta kata
sayang dan perhatian ibumu. Kalaulah aku bisa mengetuk hati ibu, kalaulah aku
bisa membuatnya nyaman berada di rumah, kalaulah aku bisa menjadi kebanggaan
ibu. Aku hanya ingin menginginkan 2 jam dari 10 jam ibu di pabrik. Malam ini
aku ingin menemani ibu lembur memotongi 100 helai bulu mata, biasanya ibu
bangun bangun jam 11 malam. Kalau ibu tak bisa menyediakan waktunya, biar aku
yang menyediakan waktu untukku menikmati wajah ibu, sekadar membuat ibu tak
sendirian kala malam mengguntingi sumber kehidupan kami.
Aku mendengar suara pekikkan ranjang besi. Pasti ibu sudah bangun, aku
selipkan pembatas buku pada halaman 89 novel Segiang terakhir karya Gracia Asri dan bergegas turun mengambil air
untuk menyegarkan mata ini. Aku sibak gorden pembatas dapur dengan ruang
utama, ku temukan ibu telah duduk sila di bawah lampu
belajar 16 watt. Ibu menoleh tanpa kata-kata lalu melanjutkan kerjanya. Duduk
bersebelahan dan aku taruh pandanganku pada helaian-helaian bulu mata yang
perlahan cekatan ibu guntingi polanya. Ibu pernah bilang, satu helai bulu mata
dihargai 100 rupiah, jika ada yang cacat maka akan harus ada pengganti, begitu
ibu menceritakan itu. 10 jam ibu dihargai Rp 860.000, itupun sudah termasuk uang
makan yang hanya Rp 25.000,-. Ibu mencuri pandangan padaku lewat ekor matanya.
“Ngapain kowe di sini?! Nganah turu!” matanya tetap fokus pada
helaian bulu mata.
“Tri mau nemenin ibu.”
Semoga ibu tak mengusirku.
“Wes nganah!! Ibu lagi nggak mau
diganggu! Banyak pesanan di pabrik!!”
“Aku nggak...”
“WES NGANAH!!!” aku ciut
dan dengan rapuhnya kembali ke kamar. Aku memutuskan untuk mengintip ibu, aku
juga ingin terjaga bersama ibu. Tapi sepertinya mata ini tak sekuat ibu. Ibu,
maafkan aku.
Fajar itu telat membangunkan matahari, gemericik air dari belakang. Aku tak
mau kalah oleh ibu, satu jam sebelum ibu bangun aku sudah memasakkan untuk ibu.
“Pake jemputan, Bu?” ibu tak mengacuhkan pertanyaanku.
Ibu memang seperti itu, mungkin ia puasa untuk bicara. Dengan cepat ibu
berpakaian, memoleskan bedak tipis dan sedikit lipstik. Ibuku yang manis.
Tangannya dengan cepat menciduk nasi, mendoan
dan menaburkan bawang goreng.
“Ibu mau teh tubruk?” hanya
gelengan yang ku dapat darinya sambil menyuapkan sesondok nasi dangan cepat. Tak
hanya dalam bekerja ibu sigap dan cekatan, tapi seluruh aktivitasnya mungkin
tidur pun beliau yang manis ini sigap. Bapak memandangiku sejak tadi dari kursi
tamu yang sudah bolong sana-sini dan bergantian menatap ibu.
“Mau diantar?” tanya bapak.
“Nggak usah!” ketus ibu. “Mau naik sepeda?” bapak tak habis pertanyaan.
“Nggak.”
Bapak menggaruk-garuk kepala. Aku masuk ke kamar berharap mereka bisa
bicara agak terbuka. Ibu, aku mohon lunakkan hatimu sedikit saja.
“Jemputan Bus pabrik?” bapak bertanya perlahan.
“Dijemput Joko,” senyum tipis bapak senyap, fajar tak lagi bersambut di raut wajah bapak. Aku
tak mengerti apa yang terjadi. Siapa joko? Ada apa dengan bapak dan ibu?
“Kamu masih sama dia?” ibu tak
menjawab. Ia mengambil tas dan memasukkan kotak bulu mata, menyisir sedikit
rambutnya membuka pintu dengan kasar tanpa menutupnya kembali. Aku menghampiri
bapak dan menadahkan kepala pada bantalan dadanya.
Ia membelai kepalaku dengan mesra seperti membelai ibu. Kumisnya yang dulu
tegap menantang kini entah kemana perginya.
Aku kacau meracau.
Mencakar ke udara. Mendengarkan tembang
macopat dengan gaya seorang pemabuk cinta, bapak. Menanti sang dewinya
pulang tanpa seragam dan berlari memeluk bapak. Hingga lamunannya berpuisi
jingga, dan ketika membuka pintu lamunannya dia telah jauh meninggalkan kenyataan. Kau bapakku, engkau ibuku! Dan aku anakmu.
Akankah kita menciptakan sebuah silsilah yang indah dalam kesialan jaman ini?
Entahlah, kau hanya memotong setiap pola Tuhan yang tak mereka ajarkan!***
Posting Komentar