“Dia bilang mau bangun kampung, tapi perasaan kita, kita
tanah kita diinjak,” ungkap Linus Gebze, Ketua Adat Kampung Zanegi, dalam film
itu. Film tersebut memperlihatkan kondisi Kampung Zanegi yang teperdaya oleh
manisnya janji investor. Mereka termakan iming-iming memajukan kampung, namun
yang ada mereka hancur. “Ketika ada investor datang, yang mereka (investor)
butuhkan bukanlah warga, tetapi lahan, masyarakat dianggap pengganggu, maka
harus disingkirkan,” tutur Nicolaus Adi Saputra, Uskup Agung Merauke, masih dalam
film itu.
“Oh kasihan anak cucuTersesat, tersesat dan tidak ada jalanOh kasihan anak cucuTersesat, tersesat dan tidak ada jalanKita tertipuMelepaskan tanah tempat kita hidup”
Itulah Sepenggal lirik lagu yang dinyanyikan salah satu
Warga Kampung Zanegi.
Film dokumenter itu menceritakan PT Selaras Inti Semesta, anak usaha Medco Grup, telah membabat ribuan hektar hutan dan berniat mengonversikan 169.000 hektar dari lahan itu menjadi perkebunan akasia dan eukaliptus. Medco juga mengekspor chip kayu dan kayu pelet ke berbagai negara untuk bahan bakar industri. Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) adalah dalang di balik itu semua. Program yang dikenalkan sebagai problem solving krisis pangan Indonesia dan dunia malah menjadi bumerang bagi warganya.
Dengan
nada tegas dan menahan luapan emosi, Kepala Departemen Organisasi FMN Cabang
Purwokerto Ahmad Sucipto mengungkapkan bahwa mahasiswa memiliki permasalahan
lain, mahasiswa tak ubah menjadi alat penguat baut-baut imperialisme. “Mahasiswa
memiliki masalah pokok, yaitu aksesibilitas, komersialisasi pendidikan,
liberalisasi pendidikan dan setelah lulus apakah akan memihak pada rakyat atau
malah berpihak kepada imperialisme.”
Menanggapi
permasalahan rumit antara rakyat dan negara yang semakin meningkatkan
kemelaratan Indonesia, Prof. Imam Santoso mencoba mencari solusi yang kuncinya
ada pada pemerintahan, “Ada tiga solusi: menghidupkan kembali komitmen negara,
perjuangan politik, dan back to the
culture,” terangnya.

Posting Komentar